Surah Maryam
Surah ke-19. 98 ayat. Makkiyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-11: Kemukjizatan Al Qur’an, kisah Nabi Zakariyya ‘alaihis salam, rahmat Allah kepada hamba-Nya Nabi Zakariyya, pentingnya menampakkan kelemahan dan kebutuhan ketika berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, penjelasan bahwa kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak ada yang dapat melemahkannya, permohonan keturunan yang saleh dan sikap syukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
كهيعص (١) ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا (٢) إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا (٣) قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (٤) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (٥) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (٦) يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا (٧) قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا (٨) قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا (٩) قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا (١٠) فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا (١١
Terjemah Surat Maryam Ayat 1-11
1. Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad.
2. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria[1],
3. (yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut[2].
4. Dia (Zakaria) berkata, "Ya Tuhanku, sungguh (semua) tulangku telah lemah[3] dan kepalaku telah dipenuhi uban[4], dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, Ya Tuhanku[5].
5. Dan sungguh, aku khawatir terhadap mawaliku[6] sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu,
6. yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya'qub[7]; dan jadikanlah dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai[8].”
7. (Allah berfirman), “Wahai Zakaria! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya[9], yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.
8. Dia (Zakaria) berkata, "Ya Tuhanku, bagaimana aku dapat mempunyai anak, padahal istriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai usia yang sangat tua?”
9. Allah berfirman, "Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, "Hal itu mudah bagi-Ku[10]; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal pada waktu itu engkau belum berwujud sama sekali.”
10. Dia (Zakaria) berkata, "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda[11].” Allah berfirman, "Tandamu ialah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia[12] selama tiga malam[13], padahal engkau sehat.”
11. Maka dia keluar dari mihrab[14] menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah[15] kamu pada waktu pagi dan petang.”
[1] Maksudnya, Kami akan bacakan kepadamu kisahnya dan menjelaskannya agar dapat diketahui lebih jelas keadaan Nabi Zakaria, peninggalannya yang baik dan keutamaannya, di mana dalam kisah itu terdapat pelajaran dan teladan. Di samping itu, menjelaskan lebih rinci rahmat Allah kepada seorang hamba mendorong kita untuk mencintai Allah Subhaanahu wa Ta'aala, banyak mengingat-Nya, mengenal-Nya dan merupakan sebab yang dapat menghubungkan kita kepada-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memilih Zakaria menjadi rasul-Nya dan memberikan wahyu kepadanya, maka Beliau melaksanakannya sebagaimana rasul-rasul-Nya yang lain. Beliau mengajak manusia kepada Allah, menasehati mereka di masa hidupnya hingga wafatnya. Saat Beliau merasakan kelemahan fisik pada dirinya dan khawatir akan wafat namun tidak ada yang menggantikan posisinya untuk mengajak manusia kepada Allah, maka Beliau mengeluhkan kelemahan dirinya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan berdoa dengan suara yang lembut dan pelan agar lebih sempurna, lebih utama dan lebih ikhlas.
[2] Di tengah malam, karena pada waktu itu lebih cepat diijabah (dikabulkan).
[3] Ketika tulang telah lemah, di mana ia merupakan penopang badan, maka anggota badan yang lain tentu ikut lemah.
[4] Uban merupakan tanda kelemahan dan ketuaan, utusan maut, pemandunya dan peringatan terhadapnya. Nabi Zakaria bertawassul kepada Allah dengan kelemahan dirinya, dan hal ini termasuk cara bertawassul yang dicintai Allah, karena hal ini menunjukkan sikap berlepas diri dari kemampuan dirinya serta bergantung kepada kekuatan Allah ‘Azza wa Jalla.
[5] Yakni Engkau tidak menghendaki aku kecewa dan terhalang dari dikabulkan doa, bahkan Engkau senantiasa menyambutku dan mengabulkan doaku. Kelembutan-Mu selalu mengalir kepadaku dan ihsan-Mu senantiasa sampai kepadaku. Di sini Beliau bertawassul kepada Allah dengan nikmat yang diberikan-Nya kepada dirinya dan pengabulan-Nya terhadap doanya yang terdahulu; Beliau meminta kepada Allah Tuhan yang telah berbuat baik dahulu agar Dia menyempurnakan ihsan-Nya pada kesempatan selanjutnya.
[6] Yang dimaksud oleh Zakaria dengan mawali adalah orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusan yang terkait dengan agama sepeninggalnya dan yang memimpin Bani Israil serta yang mengajak mereka kepada Allah. Zakaria khawatir kalau orang-orang yang menggantikannya adalah orang-orang tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena tidak seorang pun di antara mereka yang dapat dipercaya, oleh sebab itu Beliau meminta dianugerahi seorang anak. Nampaknya, Beliau tidak melihat adanya orang yang layak memegang posisi imaamah fid din (pemimpin dalam agama). Hal ini menunjukkan perhatian Beliau kepada kaumnya, dan lagi permintaan Beliau agar dianugerahi anak tidak seperti permintaan orang lain, bahkan untuk maslahat agama dan agar agama ini tidak hilang. Beliau melihat bahwa selain Beliau tidak cocok terhadap imamah fid din, dan ketika itu hanya rumah Beliau yang paling terkenal tentang kebaikan agamanya, oleh karenanya Beliau meminta kepada Allah agar dianugerahkan seorang anak yang akan menegakkan agama-Nya setelah Beliau wafat.
[7] Berupa ilmu, amal dan kenabian.
[8] Di sisi-Mu.
[9] Allah menamainya dengan Yahya, sesuai dengan orangnya, di mana ia hidup secara hissiy (konkrit) maupun maknawi (abstrak). Contoh maknawi adalah hidupnya hati dan ruh dengan wahyu dan ilmu, sehingga sempurnalah nikmat yang diberikan kepadanya.
[10] Yakni mewujudkan sesuatu tanpa sebab adalah hal yang sangat mudah bagi-Nya.
[11] Yakni yang menunjukkan kehamilan istriku. Perkataan ini adalah agar hati Beliau tenang (mantap), bukan karena ragu-ragu terhadap berita Allah. Hal ini seperti perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman, "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab, "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (lihat Al Baqarah: 261). Beliau meminta kepada Allah agar ditambah lagi ilmunya dan disampaikan kepada ‘ainul yaqin (penglihatan yang yakin) setelah ‘ilmul yaqin (pengetahuan yang yakin), maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengabulkan permohonannya sebagai rahmat untuknya.
[12] Selain dzikrullah.
[13] Yakni tiga hari tiga malam. Hal ini termasuk ayat-ayat Allah yang menakjubkan, karena tidak mampunya Beliau berbicara dengan manusia selama tiga hari bukan karena bisu atau penyakit, termasuk dalil yang menunjukkan kekuasaan Allah yang menyelisihi kebiasaan. Meskipun Beliau terhalang dari berbicara dengan manusia, namun dzikrullah tidaklah tertahan. Oleh karena itu, di ayat lain Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari".(Terj. Ali Imran: 41), hati Beliau pun tenang dan merasa gembira dengan kabar tersebut, Beliau mengikuti perintah Allah untuk bersyukur, yaitu dengan beribadah dan menyebut nama-Nya, maka Beliau berdiam di mihrabnya dan keluar kepada kaumnya dengan berisyarat agar mereka bertasbih di pagi dan petang.
[14] Yakni dari masjid. Ketika itu kaumnya menunggu agar Beliau membukakan mihrabnya untuk shalat di situ dengan perintahnya seperti biasanya.
[15] Ada yang menafsirkan dengan, “Shalatlah.”