Ayat 11-18: Tuduhan dusta kepada Aisyah Ummul mukminin radhiyallahu 'anha, sikap sebagian kaum muslimin, penjelasan tentang buruknya qadzaf dan menyebarkan berita dusta.
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١١) لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (١٢) لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (١٣) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٤) إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (١٥) وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (١٦) يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (١٧) وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (١٨
Terjemah Surat An Nur Ayat 11-18
11. [1]Sesungguhnya orang yang membawa berita bohong itu[2] adalah dari golongan kamu juga[3]. Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu[4]. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya[5]. Dan barang siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya)[6], dia mendapat azab yang besar (pula).
12. [7]Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka[8] terhadap diri mereka sendiri[9] ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata[10], "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat orang saksi[11]? Oleh karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah orang-orang yang berdusta[12].
14. Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar[13], disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang hal itu (berita bohong itu).
15. (Ingatlah) ketika kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun[14], dan kamu menganggapnya remeh[15], padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.
16. Dan mengapa kamu tidak berkata, ketika mendengarnya, "Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau[16], ini adalah kebohongan yang besar."
17. Allah menasehati kamu[17] agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu[18] selama-lamanya, jika kamu orang beriman[19].
18. Dan Allah menjelaskan ayat-ayat-(Nya)[20] kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui[21] lagi Mahabijaksana[22].
Ayat 19-22: Penjelasan akibat orang yang suka menyebarkan perkara keji di tengah-tengah kaum muslimin, dan peringatan agar tidak mengikuti langkah-langkah setan.
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (١٩) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (٢٠) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢١) وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٢
Terjemah Surat An Nur Ayat 19-22
19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih[23] di dunia[24] dan di akhirat[25]. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui[26].
20. Dan kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu[27] (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Sungguh, Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang.
21. [28]Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan[29]. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji[30] dan mungkar[31]. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya[32], tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki[33]. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
22. [34]Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya)[35], orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[1] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila keluar bepergian, melakukan undian di antara istri-istrinya, siapa di antara mereka yang keluar bagiannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan pergi bersamanya. ‘Aisyah berkata, “Maka Beliau melakukan undian di antara kami dalam suatu perang yang dilakukannya, ternyata bagianku yang keluar, maka aku keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah turun ayat hijab. Aku pun dibawa dalam sekedupku dan ditempatkan di situ. Kami pun berangkat, sehingga ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai dari perang itu dan kembali pulang serta telah dekat ke Madinah, (saat itu Beliau telah singgah dan beristirahat pada sebagian malam) maka Beliau memberitahukan untuk melanjutkan perjalanan di malam itu. Ketika orang-orang saling memberitahukan keberangkatan, maka aku pun berdiri dan berjalan kaki melewati pasukan (untuk memenuhi urusannya). Setelah aku menyelesaikan urusanku, maka aku mendatangi tempatku, ternyata kalungku yang tersusun dari manik (berasal dari) Zhafar (daerah di Yaman) terlepas. Aku pun mencari kalung itu, pencarianku terhadapnya membuatku tertahan (tidak kembali), kemudian datanglah beberapa orang yang biasa mengangkut(sekedup)ku, lalu mereka mengangkut sekedupku dan menaruhnya di atas unta yang aku naiki, sedang mereka mengira bahwa aku sudah berada di dalamnya, dan biasanya kaum wanita agak ringan dan tidak banyak dagingnya (kurus), mereka biasa memakan sedikit makanan. Oleh karena itu, beberapa orang itu tidak merasakan apa-apa ketika sekedupnya ringan saat mereka angkut, dan lagi aku seorang wanita yang masih belia. Mereka pun membangkitkan unta-unta (yang beristirahat) dan berangkat, dan aku menemukan kalungku itu setelah mereka semua pergi. Aku datangi tempat mereka, ternyata tidak ada yang memanggil maupun memenuhi panggilan, aku pun pergi menuju tempat di mana sebelumnya aku berada, dan aku mengira bahwa mereka akan mencariku kemudian kembali kepadaku. Ketika aku duduk di tempatku, mataku tidak tahan sehingga aku tertidur. Ketika itu, Shafwan bin Al Mu’aththal As Sulami Adz Dzakwaniy berada di belakang pasukan, ia berjalan di akhir malam (setelah tertidur), ketika tiba waktu Subuh ia telah sampai di tempatku, ia pun melihat bayang-bayang hitam seorang manusia yang sedang tidur, ia pun mendatangiku dan mengenaliku ketika melihatku, dan ia melihatku sebelum turun ayat hijab. Aku pun bangun karena mendengar istirja’nya (ucapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) saat ia mengenaliku, aku pun menutupi wajahku dengan jilbabku. Demi Allah, ia tidak berbicara satu kata pun kepadaku dan aku tidak mendengar kata-katanya selain istirja’nya, ia pun menundukkan untanya dan menginjak kedua kaki depan untanya, maka aku pun naik, dan ia pun berangkat menuntunku sampai kami menemui pasukan setelah mereka singgah di saat sinar matahari sangat panas di siang bolong. Ketika itu binasa orang yang binasa, dan orang yang mengambil bagian besar dalam kedustaan adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Kami pun tiba di Madinah, dan aku merasakan sakit selama sebulan sejak aku tiba (di Madinah), sedangkan orang-orang sibuk membicarakan berita dusta yang dibawa oleh yang membawanya, aku tidak menyadari sedikit pun tentang hal itu dan ia membuatku bimbang di tengah sakitku. Aku pun tidak melihat lagi kelembutan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang biasa aku lihat ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, memberi salam dan berkata, “Bagaimana keadaan dirimu?” Lalu Beliau pergi, itulah yang membuatku gelisah dan aku tidak menyadari keburukan (yang terjadi) sehingga aku keluar setelah agak sembuh, lalu Ummu Misthah mengantarkan aku menuju area tinggi (di luar Madinah) yang menjadi tempat buang air kami dan kami biasa tidak keluar kecuali di malam hari dan begitulah seterusnya, dan hal itu sebelum kami membuat jamban di dekat rumah-rumah kami, dan kebiasaan kami seperti kebiasaan kaum Arab terdahulu dalam buang air, yaitu pergi jauh dari rumah. Kami merasa terganggu ketika memuat jamban di dekat rumah, maka aku berangkat dengan Ummu Misthah, yaitu putri Abu Ruhm bin ‘Abdi Manaf, sedangkan ibunya putri Shakhr bin ‘Amir bibi (dari pihak ibu) Abu Bakar Ash Shiddiq, sedangkan anaknya adalah Misthah bin Utsaatsah, maka aku dan Ummu Misthah kembali ke rumahku dan kami telah menyelesaikan urusan kami, lalu Ummu Misthah tersandung kainnya dan berkata, “Celaka Misthah,” aku pun berkata kepadanya, “Buruk sekali apa yang engkau ucapkan, apakah engkau memaki seseorang yang menghadiri perang Badar?” Ummu Misthah berkata, “Wahai wanita yang tidak sadar, tidakkah kamu mendengar ucapannya?” Aku berkata, “Apa yang ia ucapkan?” Maka Ummu Misthah memberitahukan ucapan orang-orang yang berdusta, maka bertambah sakitah aku. Ketika aku pulang ke rumah dan menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau mengucapkan salam dan berkata, “Bagaimana keadaan dirimu?” Aku berkata, “Aku meminta izin untuk mendatangi ibu bapakku.” Aisyah berkata, “Ketika itu, aku ingin memastikan beritanya dari keduanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkanku, lalu aku datang kepada ibu bapakku, aku pun berkata kepada ibuku, “Wahai ibu, apa yang sedang dibicarakan orang-orang?” Ibunya menjawab, “Wahai anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, hampir tidak ada satu pun wanita cantik yang berada pada seseorang yang mencintainya dan ia memiliki banyak saningan wanita, kecuali mereka akan mencacatkannya.” Aisyah berkata, “Subhaanallah, apakah orang-orang membicarakan seperti ini?” Aku pun menangis pada malam itu sampai pagi hari dan air mata tidak henti-hentinya mengucur, aku bergadang sampai pagi hari sambil menangis, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu terlambat turun, Beliau bermusyawarah dengan keduanya apakah perlu menceraikan istrinya. Adapun Usamah bin Zaid mennyerahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Beliau yang mengetahui kebersihan keluarganya dan yang mengetahui sejauh mana rasa cinta Beliau kepada mereka. Usamah berkata, “Wahai Rasulullah, (tahanlah) keluargamu, kami tidak mengetahui tentangnya selain kebaikan.” Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersempit engkau, wanita selainnya cukup banyak, jika engkau bertanya kepada wanita budak (milik Aisyah) tentu dia akan berkata benar terhadapmu.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Barirah dan bersabda, “Wahai Barirah, adakah engkau melihat sesuatu yang meragukanmu?” Barirah menjawab, “Tidak demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melihat padanya sesuatu (yang engkau tanyakan) yang dapat membuatku mencelanya selain karena dia masih belia yang terkadang tidur karena (menjaga) adonan keluarganya, lalu kambing datang dan memakannya (adonan itu).” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit dan ketika itu Beliau meminta orang yang mau membelanya terhadap Abdullah bin Ubay bin Salul. Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar, “Wahai kaum muslimin! Siapa yang mau membelaku dari orang yang gangguannya sampai mengena kepada keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang keluargaku selain kebaikan. Sungguh, orang-orang telah menyebutkan seorang laki-laki yang tidak aku ketahui selain kebaikan, dan ia tidaklah menemui keluargaku kecuali bersamaku.” Lalu Sa’ad bin Mu’adz Al Anshariy bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya siap membelamu darinya. Jika ia termasuk suku Aus, maka aku akan menebas lehernya, dan jika ia termasuk saudara kami dari suku Khazraj, engkau tinggal menyuruh kami, maka kami akan melaksanakan perintahmu.” Lalu Sa’ad bin ‘Ubadah bangkit, sedangkan ia adalah tokoh Khazraj, dan sebelumnya ia adalah seorang yang saleh, akan tetapi kemarahannya bangkit, ia pun berkata kepada Sa’ad, “Demi Allah, engkau dusta. Jangan engkau bunuh dia dan engkau tidak akan sanggup membunuhnya.” Lalu Usaid bin Hudhair bangkit, sedang dia adalah putra paman Sa’ad bin Mu’adz, lalu ia berkata kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, “Demi Allah, engkau berdusta, kami akan membunuhnya. Engkau adalah munafik dan membela kaum munafik, maka bangkitlah kedua suku; Aus dan Khazraj sampai mereka ingin berperang. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berusaha mendiamkan mereka sehingga mereka pun diam, dan Beliau pun diam.” Aisyah berkata, “Maka aku menangis pada hari itu tanpa berhenti dan tidak tidur malam.” Lalu kedua ibu-bapakku mendekatiku, sedangkan aku telah menangis selama dua malam dan satu hari, aku tidak tidur malam dan air mataku tidak berhenti menangis. Keduanya mengira bahwa tangisan itu membuka isi hatiku. Ketika keduanya duduk di dekatku, sedangkan aku dalam keadaan menangis, maka ada seorang wanita Anshar yang meminta izin menemuiku, maka aku mengizinkannya, ia pun menangis bersamaku. Ketika kami seperti itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemui kami kemudian Beliau duduk, dan sebelumnya Beliau tidak pernah duduk di dekatku sejak diberitakan ini dan itu, dan sudah berlangsung sebulan tidak turun wahyu kepada Beliau berkenaan dengan aku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersyahadat ketika telah duduk dan berkata, “Amma ba’du, wahai Aisyah, telah sampai berita kepadaku tentang kamu begini dan begitu. Jika engkau tidak bersalah, maka Allah akan membersihkan dirimu, dan jika engkau terjatuh melakukan dosa, maka mintalah ampunan kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya, karena seorang hamba apabila mengakui dosanya kemudian bertobat kepada Allah, maka Allah akan menerima tobatnya.” Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai mengucapkan kata-katanya, berhentilah air mataku sehingga aku tidak merasakan satu tetes pun darinya. “ Aku pun berkata kepada bapakku, “Jawablah perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,” Dia (bapakku) berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus aku ucapkan kepada Rasulullah.” Aku pun berkata kepada ibuku, “Jawablah (perkataan) Rasulullah.” Ia (ibuku) berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Aku pun berkata, “Aku adalah seorang wanita yang masih belia, aku memang tidak banyak membaca Al Qur’an. Sesungguhnya aku, demi Allah, telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar berita itu lalu berita itu menetap di hatimu dan kamu membenarkannya. Jika aku katakan, bahwa aku bersih daripadanya, dan Allah mengetahui bahwa diriku bersih, tentu engkau tidak akan membenarkan aku, dan jika aku mengaku terhadap suatu urusan yang Allah mengetahui bahwa aku bersih darinya, tentu engkau akan membenarkan aku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan perumpamaan untuk kamu selain perkataan bapak Yusuf, yaitu “Kesabaran yang baik (itulah sikapku), dan kepada Allah-lah diminta terhadap apa yang kamu sifatkan.” Kemudian aku pindah dan tidur di kasurku. Ketika itu, aku mengetahui bahwa diriku bersih dan Allah akan membersihkan aku, akan tetapi demi Allah, aku tidak mengira bahwa Allah akan menurunkan wahyu tentang aku yang kemudian dibaca dan aku merasa sangat kecil jika sampai dibicarakan Allah dalam wahyu yang dibaca, akan tetapi aku berharap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermimpi dalam tidurnya, bahwa Allah membersihkan aku daripadanya. Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan (tempatnya) dan tidak ada salah seorang dari ahlul bait yang keluar sampai diturunkan wahyu kepada Beliau, maka Beliau tampak keberatan (karena wahyu yang turun) sampai menetes keringat seperti mutiara padahal hari sangat dingin karena beratnya wahyu yang turun kepada Beliau. Setelah lenyap kesusahan itu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau tertawa, dan kalimat yang pertama Beliau ucapkan kepada Aisyah radhiyallahu 'anha adalah, “Allah telah membersihkan kamu.” Lalu ibuku berkata, “Bangunlah kepadanya.” Aku pun berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan bangun kepadanya dan tidak akan memuji selain Allah ‘Azza wa Jalla.” Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sesungguhnya orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu mengir…dst. Sampai sepuluh ayat. Setelah Allah menurunkan tentang bersihnya aku, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu yang biasanya menafkahi Misthah bin Utsatsah karena hubungan kerabat dengannya dan karena fakirnya, berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menafkahi Misthah lagi selamanya setelah ucapannya terhadap Aisyah,” maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Terj. An Nuur: 22) Abu Bakar berkata, “Benar demi Allah, sesungguhnya aku ingin Allah mengampuniku.” Maka ia menafkahi Misthah lagi yang sebelumnya ia nafkahi, ia juga berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menarik nafkah itu darinya selamanya.” Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalahku, “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui atau apa pendapatmu?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Aku tidak mengetahui selain kebaikan.” Aisyah berkata, “Padahal dia antara istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersaing denganku, maka Allah menjaganya dengan kewara’an, sedangkan saudarinya Hamnah hendak membelanya (dengan merendahkan Aisyah), dan ia termasuk orang yang binasa di antara para pemikul berita dusta.” (HR. Bukhari)
[2] Berita bohong ini tertuju kepada istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam 'Aisyah radhiyallahu 'anha Ummul Mu'minin, setelah perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H.
[3] Yakni golongan yang menisbatkan diri kepadamu, di antara mereka ada yang mukmin namun tertipu oleh buaian kaum munafik, dan di antara mereka ada orang-orang munafik.
[4] Karena di dalamnya terdapat pembersihan diri ummul mukminin (Aisyah radhiyallahu 'anha) dan kesuciannya, disebut tinggi namanya, sampai pujian itu mengena pula kepada semua ummahatul mukminin (istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain selain Aisyah), dan di dalamnya juga terdapat penjelasan terhadap ayat-ayat yang dibutuhkan manusia, dan senantiasa diberlakukan sampai hari kiamat. Semuanya terdapat kebaikan yang besar, kalau tidak ada peristiwa itu, tentu tidak ada beberapa kebaikan ini.
[5] Ini merupakan ancaman untuk mereka yang membawa kebohongan, bahwa mereka akan disiksa sesuai ucapannya, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun menegakkan had terhadap mereka.
[6] Yang mengambil bagian terbesar dalam kebohongan adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik. Dialah yang pertama membicarakan berita dusta dan yang menyebarkannya.
[7] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengarahkan hamba-hamba-Nya ketika mendengar berita seperti itu.
[8] Yakni bersihnya orang yang dituduhkan itu, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, dan lagi keimanan yang ada dalam diri mereka menolak berita dusta yang disampaikan itu.
[9] Maksudnya, masing-masing bersangka baik terhadap yang lain. Disebut “terhadap diri mereka sendiri” karena celaan yang ditujukan sebagian mereka kepada yang lain sama saja mencela diri mereka sendiri, karena kaum mukmin seperti sebuah jasad, dan antara mukmin yang satu dengan yang lain seperti sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak mencela mukmin yang lain, karena yang demikian sama saja mencela dirinya sendiri, dan jika seseorang tidak bersikap seperti ini, maka yang demikian menunjukkan imannya lemah dan tidak memiliki sikap nasihah (tulus) terhadap kaum muslimin.
[10] Ketika mereka mendengar kata-kata itu.
[11] Yang adil lagi diridhai.
[12] Meskipun mereka yakin bahwa diri mereka benar, namun di sisi Allah mereka berdusta, karena Allah mengharamkan berbicara tentang itu tanpa menyertakan empat orang saksi yang menyaksikannya dengan mata kepala mereka. Allah tidak mengatakan, “maka mereka itu orang-orang yang berdusta” tetapi mengatakan, “maka mereka itu dalam pandangan Allah orang-orang yang berdusta,” hal ini karena besarnya kehormatan seorang muslim, di mana tidak boleh asal menuduhnya tanpa ukuran persaksian yang dianggap benar, yaitu empat orang saksi.
[13] Yakni karena kamu sudah berhak menerimanya. Akan tetapi, karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu, Dia mensyariatkan kepadamu tobat dan menjadikan hukuman sebagai penebus dosa.
[14] Keduanya adalah perkara haram; yaitu membicarakan sesuatu yang batil dan berbicara tanpa ilmu.
[15] Yakni tidak ada dosa di sana. Ulama menjelaskan, bahwa dosa kecil bisa menjadi besar apabila dilakukan terus-menerus, meremehkannya, bangga dalam mengerjakannya atau pun terang-terangan melakukannya.
[16] Kalimat tasbih disunahkan diucapkan ketika keheranan (takjub). Maksud kalimat, “Mahasuci Engkau (ya Allah),” di sini adalah menyucikan Allah dari semua keburukan dan dari memberikan bala’ kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan menjadikan mereka mengerjakan perkara-perkara keji.
[17] Sebaik-baik nasehat adalah nasehat Allah, oleh karena itu kita wajib menerima dan tunduk serta bersyukur kepada-Nya.
[18] Yaitu menuduh orang mukmin berbuat keji.
[19] Ayat ini menunjukkan, bahwa iman yang benar akan menghalangi pemiliknya dari mengerjakan perbuatan haram.
[20] Yang mengandung hukum-hukum, nasehat, larangan, targhib dan tarhib, dsb.
[21] Tentang apa yang perlu diperintahkan kepadamu dan tentang apa yang perlu dilarang kepadamu.
[22] Dalam perintah dan larangan itu. Dia menerangkan hikmah dari perintah dengan menerangkan kebaikan yang ada di dalamnya, dan menerangkan hikmah dari larangan itu dengan menerangkan keburukan yang menghendaki untuk ditinggalkan.
[23] Baik bagi hati maupun badan. Yang demikian karena sifat ghisy (keinginan merugikan) saudaranya kaum muslimin, ingin keburukan menimpa mereka, dan berani menodai kehormatan mereka. Jika ancaman ini disebabkan karena keinginan agar perkara keji tersebar di tengah-tengah kaum mukmin, lalu bagaimana jika ditampakkan dan dipindahkan ke tengah-tengah kaum muslimin? Ini semua termasuk rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya kaum mukmin dan untuk menjaga kehormatan mereka, sebagaimana Dia telah menjaga darah dan harta mereka, dan memerintahkan mereka sesuatu yang dapat membuat mereka tetap bersatu dan agar mereka saling mencintai kebaikan didapatkan oleh saudaranya.
[24] Dengan mendapatkan had qadzaf.
[25] Dengan mendapat neraka.
[26] Oleh karena itulah, Dia mengajarkan kamu dan menerangkan kepada kamu apa yang tidak kamu ketahui.
[27] Yang meliputi kamu dari berbagai sisi.
[28] Setelah Allah melarang perkara dosa itu secara khusus, maka Dia melarang dosa-dosa yang lain secara umum.
[29] Termasuk langkah-langkah setan adalah semua maksiat, baik yang terkait dengan hati, lisan maupun anggota badan.
[30] Perbuatan keji adalah perbuatan yang dipandang keji oleh akal dan semua syariat, berupa dosa-dosa besar.
[31] Mungkar adalah perbuatan yang diingkari oleh akal dan syariat. Maksiat yang merupakan langkah-langkah setan tidak lepas dari perkara keji dan mungkar, maka Allah melarang hamba-hamba-Nya dari yang demikian sebagai nikmat-Nya kepada mereka agar mereka bersyukur dan mengingat-Nya, karena dengan menjauhinya dapat membuat diri mereka bersih dari kotoran dan noda yang mengotori dirinya. Termasuk ihsan-Nya adalah Dia melarang mereka dari perbuatan itu sebagaimana Dia melarang memakan racun yang dapat membunuhnya, dsb.
[32] Ya, kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya tentu tidak ada seorang pun yang dapat bersih dari perbuatan keji dan munkar, karena setan dan tentaranya mengajak manusia kepadanya dan menghiasnya serta berusaha semaksimal mungkin agar manusia jatuh ke dalamnya, hawa nafsu manusia juga cenderung kepadanya, dan kekurangan menguasai manusia dari berbagai sisi, sedangkan imannya tidak kuat. Oleh karena itu, jika tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya, tentu tidak seorang pun yang dapat bersih dari perkara keji dan mungkar serta dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu, di antara doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kebakhilan dan kepikunan serta azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada diriku ketakwaannya, bersihkanlah dia, sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang membersihkannya. Engkau Pelindung dan Penguasanya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak puas dan dari doa yang tidak diijabah.” (HR. Muslim)
[33] Ada yang menafsirkan, “Dengan menerima tobatnya.”
[34] Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang Beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh memaafkan dan berlapang dada terhadap mereka setelah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
[35] Dalam ayat ini terdapat dalil menafkahi kerabat, dan bahwa menafkahi dan berbuat ihsan kepada mereka tidaklah ditinggalkan karena maksiat seseorang, dan terdapat anjuran memaafkan dan berlapang dada.